Aiteknos.com – Teknologi telah mengubah cara kita hidup, bekerja, dan berinteraksi, membawa kemudahan yang tak terbantahkan.
Namun, di balik kecanggihan ini, muncul pertanyaan kritis: apakah teknologi modern justru menjadi kurang ramah terhadap wanita?
Sejumlah penelitian dan fenomena sosial terbaru menunjukkan bahwa ada sisi gelap dari kemajuan teknologi yang berdampak khusus pada perempuan, mulai dari bias algoritma hingga ancaman keamanan digital.
Bias Algoritma yang Mengakar
Salah satu isu utama adalah bias gender dalam kecerdasan buatan (AI). Sebuah studi dari UNESCO pada 2024 mengungkap bahwa banyak algoritma AI, yang digunakan dalam rekrutmen hingga iklan, cenderung mendiskriminasi wanita.
Misalnya, sistem AI rekrutmen sering kali memprioritaskan kandidat pria untuk posisi teknis karena data pelatihan didominasi oleh pola historis di mana pria lebih banyak menduduki jabatan tersebut.
“Ketika teknologi dirancang oleh kelompok yang homogen—terutama pria—hasilnya sering kali mencerminkan perspektif mereka saja,” ungkap Dr. Aisyah Malik, pakar teknologi gender dari Universitas Indonesia.
Contoh nyata lainnya adalah asisten virtual seperti Siri atau Alexa, yang kerap diberi suara dan karakter feminin namun dirancang untuk patuh dan responsif, memperkuat stereotip gender.
Hal ini memicu kritik bahwa teknologi justru melanggengkan pandangan kuno tentang peran wanita, alih-alih memberdayakan mereka.
Ancaman Keamanan Digital bagi Wanita
Kemajuan teknologi juga membawa risiko baru, terutama di ranah digital.
Laporan dari Plan International (2025) menunjukkan bahwa 58% wanita muda di seluruh dunia mengalami pelecehan online, mulai dari komentar misoginis hingga ancaman kekerasan.
Teknologi deepfake, yang semakin canggih, menjadi senjata baru untuk menargetkan wanita dengan konten manipulasi yang merusak reputasi.
“Saya jadi takut membuka media sosial karena foto saya pernah diedit jadi sesuatu yang memalukan,” keluh Rina, seorang karyawan swasta di Jakarta.
Media sosial, meski memberi ruang bagi wanita untuk bersuara, juga memperparah masalah ini.
Algoritma yang mempromosikan konten sensasional sering kali memperbesar narasi negatif atau objektifikasi terhadap wanita, sementara fitur moderasi konten masih tertinggal dalam mendeteksi pelecehan berbasis gender.
Ketimpangan Akses dan Representasi
Di sisi lain, akses terhadap teknologi canggih masih belum merata. Data Bank Dunia (2024) mencatat bahwa di negara berkembang, wanita 21% lebih kecil kemungkinannya memiliki smartphone dibandingkan pria.
Ketimpangan ini membatasi peluang mereka untuk memanfaatkan teknologi dalam pendidikan, bisnis, atau pengembangan diri.
Selain itu, rendahnya representasi wanita di industri teknologi—hanya 28% tenaga kerja di bidang STEM adalah perempuan menurut laporan 2025—membuat kebutuhan dan perspektif mereka sering terabaikan dalam proses desain produk.
Ada Harapan di Tengah Tantangan
Namun, tidak semua kabar buruk. Beberapa inisiatif mulai muncul untuk mengatasi masalah ini.
Organisasi seperti Women in Tech dan perusahaan raksasa seperti Google meluncurkan program pelatihan khusus wanita di bidang AI dan coding.
Teknologi juga dimanfaatkan untuk memberdayakan, misalnya melalui aplikasi keamanan seperti Hollaback! yang membantu wanita melaporkan pelecehan, atau platform edukasi seperti Coursera yang menjangkau lebih banyak perempuan.
“Teknologi itu netral; yang menentukan ramah atau tidaknya adalah cara kita merancang dan menggunakannya,” kata Prof. Linda Sari, aktivis teknologi inklusif.
Ia menekankan pentingnya melibatkan lebih banyak wanita dalam pengembangan teknologi agar hasilnya lebih berimbang.
Kesimpulan: Dua Sisi Mata Uang
Jadi, benarkah teknologi canggih malah tidak ramah terhadap wanita? Jawabannya kompleks.
Di satu sisi, bias algoritma, ancaman digital, dan ketimpangan akses menunjukkan bahwa kemajuan teknologi belum sepenuhnya inklusif.
Di sisi lain, potensi teknologi untuk memberdayakan wanita sangat besar, asalkan ada upaya sadar untuk menghilangkan bias dan memperluas partisipasi mereka.
Di tahun 2025 ini, tantangan sekaligus peluang ada di tangan kita semua untuk memastikan teknologi menjadi alat kemajuan yang benar-benar ramah bagi semua gender.